BAGIAN I
ZAKAT; MANIFESTASI KESALEHAN RITUAL DAN SOSIAL
Agama Islam memandang keinginan manusia untuk memiliki dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya merupakan dorongan naluri dan fitrah. Karena itu sikap Islam terhadap pemilikan harta adalah realistis, diakui dan dihormati. Hal ini nampak jelas dalam pengakuan dan penghormatan Islam ter-hadap kedudukan dan eksistensi harta, yaitu syari'at menganggap harta termasuk lima tujuan dan hak asasi yang wajib dijaga dan dipelihara, selain dari jiwa, akal, agama dan keturunan.
Dalam ajaran Islam bahwa hanya Allah-lah pemilik mutlak apa yang ada di bumi dan di langit, tidak ada sekutu dalam pemilikan-Nya. Manusia hanya sebagai pemegang amanah, dalam penggunaan dan pemanfaatan-nya sesuai menurut ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal itu berarti meng-ingkari tauhid. Dalam Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah SWT saja.
Dalam kepemilikan harta benda, seseorang yang beruntung memperoleh harta benda pada hakekatnya hanya menerima titipan sebagai amanat Allah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya yaitu Allah SWT. Dengan demikian berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi dan relatif. Manusia yang sebagai pengemban amanah berkewajiban memenuhi kete-tapan yang digariskan oleh Maha Pemilik, baik dalam pengembanan harta maupun dalam penggunaannya.
Karena itu dalam pandangan ajaran Islam, terdapat ketentuan-ketentuan pokok dalam masalah hubungan manusia dengan benda atau hak miliknya, yang terpenting di anataranya adalah: (1) seluruh alam semesta dan semua benda yang terdapat di dalamnya adalah pemberian Tuhan kepada manusia yang harus dimanfaat-kan untuk kepentingan umat manusia dan makhluk lainnya. (2) Alam semesta dan segala isinya merupakan milik mutlak Allah. (3) manusia, sebagai khalifahnya di bumi, berhak meng-urus dan memanfaatkan milik mutlak Allah dengan cara-cara yang benar dan halal dan berhak memper-oleh bagian dari hasil usahanya.
Salah satu ketetapan Allah dalam penggunaan harta benda adalah melalui lembaga zakat. Zakat adalah salah satu dari lima pilar (rukun) yang menegakkan bangunan Islam disamping pilar-pilar lainnya, yaitu dua kalimah syahadat, shalat, puasa, dan haji. Ini sudah umum diketahui (al-Ma'lum min ad-din bi adh-dharurah) atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Karena itu bagi seseorang yang menging-karinya dianggap keluar dari Islam.
Sebagai salah satu ibadah pokok dalam Islam, zakat banyak diungkap oleh al-Qur'an maupun berba-gai hadits Nabi SAW. Di dalam al-Qur'an terdapat 27 ayat yang mensejajarkan kewajiban shalat dengan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata. Di dalam al-Qur'an terdapat pula berbagai kata yang memuji orang-orang yang secara sungguh-sungguh menunaikannya, dan sebaliknya mem-berikan ancam-an kepada orang-orang yang sengaja meninggal-kannya.
Zakat bukan sekedar kebaikan hati orang-orang berpunya terhadap orang miskin. Tetapi zakat adalah hak Tuhan dan hak orang miskin yang terdapat dalam hak orang kaya, sehingga wajib dikeluarkan. Demi-kian kuatnya pengaruh kewajiban zakat, sampai Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang shalat tetapi menolak mengeluarkan zakat. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedur-hakaan dan jika hal ini dibiarkan, maka akan memuncul-kan berbagai kedurhakaan dan kemaksiat-an lain.
Di sisi lain, zakat adalah sebuah bentuk ibadah yang mempunyai keunikan tersendiri, karena di dalamnya terdapat dua dimensi sekaligus, yakni dimensi kepatuhan atau ketaatan ('ubūdiyyah), dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT, dan sekaligus dimensi ke-pedulian hubungan sosial kemanusiaan (ijtimā'iyyah). Sehingga zakat mempunyai posisi dan peran yang sangat khas dibandingkan dengan berbagai jenis ibadah mahdhah lainnya.
Yang senantiasa menjadi masalah adalah bagaimana kedua fungsi zakat itu dapat berjalan beriringan. Artinya, zakat yang dikeluarkan itu ber-fungsi sebagai ibadah murni kepada Allah dan sekaligus dapat juga berlaku sebagai dana sosial yang dimanfaatkan untuk kepentingan mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan. Maka disinilah perlu pengelolaan, meliputi pengumpulan, penyaluran, pendayagunaan, pengawasan dan pertanggungjawab-an harta zakat.
Pada masa Rasulullah SAW zakat terlaksana dengan baik karena beliau sendiri turun tangan untuk mengurus pemungutan dan pendistribusian zakat. Di samping itu, beliau juga mengutus para petugas (amil) untuk menarik zakat dari para wajib zakat, kemudian dicatat, dikumpulkan, dirawat dan selanjutnya di-distribusikan kepada orang-orang yang berhak mendapat-kannya. Hal ini diteruskan oleh para khalifah-khalifah pengggantinya.
Khusus untuk kondisi Indonesia, ibadah zakat sepertinya mempunyai keunikan sendiri. Dibanding-kan dengan ibadah lainnya, seperti shalat, puasa dan haji, zakat relatif tertinggal dalam tataran sosialisasi dan implementasi. Selama berabad-abad, zakat dalam kehidupan kaum muslim Indonesia hanya menjadi urusan spiritual semata. Umumnya umat Islam berpandangan bahwa tidak penting apakah zakat itu memiliki manfaat bagi perubahan nasib orang miskin, yang penting kewajiban telah digugurkan. Tidak soal apakah zakat itu berdampak secara sosial ekonomi terhadap kesejahteraan orang tidak mampu, yang penting kepuasan beribadah dan memetik pahala tertunaikan.
Pembayaran zakat yang hanya sebatas melepas kewajiban tersebut, juga bisa berdampak pada pelestarian kemiskinan. Sebab muzakki tidak mau tahu ke mana penggunaan dana zakat tersebut apalagi mengontrol atau berupaya mendorong mustahik memanfaatkan dana zakat itu sebagai modal untuk merubah nasib. Maka agar dana zakat tersebut dapat dipergunakan untuk meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat maka suatu badan pengelola zakat yang amanah dan profesional sangat diperlukan.
Sebenarnya sejak Islam datang ke Indonesia, zakat telah menjadi salah satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Karena itu organisasi pengelolaan zakat di Indonesia sudah ada sejak dahulu. Entah dalam bentuk pesantren, yayasan-yayasan sosial, maupun bentuk-bentuk lainnya. Namun dalam hal pengelolaannya belum berjalan dengan maksimal, sehingga kedua fungsi zakat, ibadah dan sosial, masih belum berjalan beriringan.
Meski umat Islam menjadi warga mayoritas di negeri ini, namun mereka kurang dan masih setengah hati merealisasikan ajaran-ajaran agama yang berdi-mensi sosial, yakni zakat. Selama ini, potensi dan pentingnya zakat bagi pengentasan kemiskinan dan pengangguran masih dianggap sebelah mata. Menurut pakar ekonomi Islam, Muhammad Syafe'i Antonio, konsep pemerataan berdasarkan trickle down effect (kesejahteraan yang menetes ke bawah) di masyarakat tidak berhasil dilaksanakan. Seandainya manajemen zakat bisa profesional, mungkin sedikit banyak akan membantu kesuksesan konsep pemerataan tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan zakat diantaranya adalah belum ada kesadaran secara penuh dari muzakki untuk membayar pada lembaga zakat. Masih banyak yang membayar zakat langsung kepada mustahiq, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, para muzakki nampaknya merasa puas baik secara psikologis maupun sosial kalau membayar zakat langsung diberikan kepada para mustahik. Di samping itu, masih banyak juga para muzaki yang belum percaya sepenuhnya kepada lembaga zakat yang ada (BAZ maupun LAZ) dalam pengelolaan zakat, mereka masih mempertanyakan keamanahan dan profesionalisme para amil zakat. Selanjutnya banyak yang berpikir, zakat adalah ibadah, sama seperti shalat, yang terpenting adalah menunaikan sesuai dengan syarat dan rukunnya, setelah itu selesai. Mereka belum memikirkan potensi dana zakat bila terkumpul akan berdaya guna dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tentu banyak faktor lain yang menyebabkan pengelolaan zakat oleh lembaga zakat mengalami banyak hambatan. Perlu kerja keras dan pembuktian, bahwa lembaga zakat yang sudah ada bekerja secara profesional dan amanah demi memberdayakan potensi zakat yang begitu besar di kalangan umat Islam Indonesia.
Peraturan perundang-undangan pengelolaan zakat di Indonesia sebenarnya sudah terdapat sejak zaman penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial itu mengeluarkan Bijblad No. 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijakan pemerintah kolonial mengenai zakat. Tetapi nampaknya undang-undang ini bukan bertujuan untuk mengelola zakat secara baik dan benar. Yang menjadi pendorong dikeluarkannya aturan tersebut adalah untuk mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu dan naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji dan tunjangan. Dan untuk melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu Pemerintah Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priayi pribumi ikut serta membantu pelaksaan zakat.
Sementara itu, pada perkembangan akhir-akhir ini di Indonesia, pengelolaan zakat memasuki era baru, yaitu dengan telah dikeluarkannya undang-undang yang berkaitan dengan zakat. Undang-undang tersebut adalah Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji Nomor D/Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat serta Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Dengan diberlakukannya UU No.38 Tahun 1999 berikut perangkat peraturan pelaksanaannya, pengelolaan zakat mempunyai legitimasi baik hukum syari'ah maupun hukum positif. Dalam pelaksanaan-nya di lapangan diperlukan suatu lembaga pengelola zakat (amil) yang profesional, jujur dan amanah. Maka kemudian muncul-lah lembaga-lembaga pengelolaan zakat di berbagai daerah, baik lembaga swasta ataupun di bawah koordinasi pemerintah daerah, yang kemudian di sahkan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Walaupun ada beberapa lembaga zakat sebelum undang-undang ini disahkan sudah berjalan secara profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar